Selasa, 18 Agustus 2015

Tiga Masalah Pokok Perekonomian di Papua serta Solusinya



Tiga Masalah Pokok Perekonomian di Papua serta Solusinya
Seperti yang kita ketahui, Papua sebagai daerah paling Timur Indonesia menyimpan kekayaan alam yang melimpah ruah. Namun, timbul pertanyaan di benak kita “mengapa jika Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah masyarakatnya masih hidup dalam kekurangan dan keterbatasan?”. Menurut saya, penyebab permasalahan itu ada 3 hal yaitu, kurang meratanya sarana dan prasarana distribusi yang memadai, penegakan aturan, dan kurangnya kesadaran masyarakat lokal akan potensi ekonomi yang dimilikinya
            Pertama saya akan membahas masalah sarana dan prasarana distribusi yang kurang memadai. Mengapa saya memasukkan hal ini kedalam penyebabnya? Tentu saja jika suatu distribusi cost angkut nya lebih besar maka harga suatu barang akan mahal pula. Dapat kita lihat bagaimana sarana dan prasarana distribusi di Papua yang masih minus. Untuk mengangkut beras saja, dari Jawa ke Papua tidak dapat langsung ke Papua melainkan transit di Makassar. Setelah itu, baru dibawa ke Papua. Setelah sampai, tidak serta merta langsung ke tangan distributor tetapi para distributor harus membawanya lagi melewati gunung dan hutan menaiki pesawat. Belum lagi soal distribusi bahan material pembangunan infrastruktur yang besar pula. Sehingga pertumbuhan sarana dan prasarana juga terhambat. Solusi yang tepat mengenai masalah ini adalah pembuatan pabrik material pembangunan infrastruktur langsung di papua, pembangunan tol laut, penerbangan langsung ke papua, serta pembukaan infrastruktur jalan tol dan jalan umum yang memadai dan layak di Papua antar daerah penghasil dan daerah penampung sampai daerah penerima.
            Masalah yang kedua adalah terkait penegakan aturan. Tentu saja aturan dibuat untuk ditaati dan dijalankan. Namun, bagaimana bila aturan dibuat untuk dilanggar dan dilawan? Ya itulah yang terjadi sekarang di Indonesia khususnya Papua. Banyak masyarakat yang mempertanyakan soal PT.Freeport yang masih beroperasi hingga kini. Bukankah dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jelas ini berbanding terbalik dengan kondisi real saat ini yang terjadi di Bumi Cendrawasih. Memang tekanan asing tak bisa dipungkiri. Namun, kapankah pemerintah kita berani menghadapi tekanan itu? Kemana cita-cita trisakti founding father kita? Kemana jiwa Pancasila kita? Saya berani katakan bahwa kondisi perekonomian kita hari ini sangat terpuruk karena pelanggaran terhadap konstitusi dengan kata lain kita telah menjalankan roda perekonomian yang inkonstitusional.  Bagaimana bisa kita katakan kontrak freeport itu menguntungkan bangsa dan digunakan untuk kemakuran rakyat sebesar besarnya? Dari sekian banyak untung yang didapat PT.Freeport bangsa Indonesia hanya diberikan “upeti” sebesar 10%. Belum lagi utang Freeport selama 48 tahun yang belum dibayarkan kepada Pemda setempat jika diakumulasikan sebesar US$3,6 milyar. Solusi yang tepat ialah penegakan aturan-aturan yang sudah dibuat supaya tidak merugikan negara yang akhirnya berimbas pula pada kerugian masyarakat setempat, merevisi undang-undang  yang mengatur supaya bila terjadi pelanggaran kesepakatan dari yang telah disepakati antara pemerintah dengan PT.Freeport pelaku dapat dihukum dengan seberat beratnya, pengawasan perizinan pertambangan diperketat guna menyeleksi perusahaan mana yang berkomitmen untuk memajukan negara dan mensejahterakan rakyat Indonesia dan khususnya Papua.
            Masalah terakhir ialah soal kurangnya kesadaran masyarakat lokal dalam mengatur dan memanfaatkan potensi ekonominya. Papua memang penuh sumber daya alam baik hayati maupun non hayati. Dari produk hayati saja kita bisa lihat begitu banyak yang dihasilkan dari bumi cenderawasih ini. Contohnya, pandan hutan yang digunakan untuk kerajinan anyaman, rotan untuk perabot rumah tangga, sagu untuk pangan pengganti beras (nasi). Belum lagi soal produk hayati di bidang pariwisata. Siapa yang tak kenal wisata bahari kepulauan Raja Ampat? Tentu sangat fenomenal dan luar biasa indah. Bahkan, disebut satu dari puluhan titik surga bawah laut dunia.  Itu baru sedikit contoh dari beragam produk hayati di Papua. Belum lagi soal produk non hayati seperti emas, tembaga, nikel, dll. yang dimanfaatkan untuk perhiasan dan industri. Tetapi tentu miris melihat bagaimana kondisi masyarakat Papua yang memiliki potensi alam begitu “wah” kalah dengan Depok yang notabene nya tidak memiliki potensi alam se”wah” Papua. Dimanakah problem ini sebenarnya? Terkait produk makanan dan kerajinan yang dihasilkan tentu saja kendala utama dari itu semua ialah kemasan, pasar, dan harga yang bersaing. Namun, masyarakat Papua belum tahu mengenai hal tersebut. Sehingga dibutuhkan seminar dan latihan latihan keterampilan di masing-masing balai desa maupun balai adat untuk membina warga lebih kreatif dan inovatif serta mampu bersaing di pasar nasional dan internasional. Yang kedua ialah terkait jasa pariwisata. Hal yang paling mengganggu jika turis berwisata di Papua ialah terkait masalah harga akomodasi yang relatif cukup mahal dibanding tempat wisata lain. Solusi untuk masalah itu tentu saja lagi lagi pembangunan sarana dan prasarana yang memadai dan juga promosi-promosi yang harus terus gencar dilakukan kementerian terkait supaya tempat-tempat wisata di Papua terkenal dan dapat mendunia. Sehingga sektor pariwisata dapat memajukan masyarakat sekitar Papua dan juga sebagai sumber devisa baru bagi negara. Lalu, kapankah kita akan memulai solusi pemecah 3 masalah pokok perekonomian Papua? Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar