Tiga Masalah Pokok Perekonomian di Papua serta Solusinya
Seperti
yang kita ketahui, Papua sebagai daerah paling Timur Indonesia menyimpan
kekayaan alam yang melimpah ruah. Namun, timbul pertanyaan di benak kita
“mengapa jika Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah masyarakatnya
masih hidup dalam kekurangan dan keterbatasan?”. Menurut saya, penyebab
permasalahan itu ada 3 hal yaitu, kurang meratanya sarana dan prasarana
distribusi yang memadai, penegakan aturan, dan kurangnya kesadaran masyarakat
lokal akan potensi ekonomi yang dimilikinya
Pertama saya akan membahas masalah
sarana dan prasarana distribusi yang kurang memadai. Mengapa saya memasukkan
hal ini kedalam penyebabnya? Tentu saja jika suatu distribusi cost angkut nya
lebih besar maka harga suatu barang akan mahal pula. Dapat kita lihat bagaimana
sarana dan prasarana distribusi di Papua yang masih minus. Untuk mengangkut
beras saja, dari Jawa ke Papua tidak dapat langsung ke Papua melainkan transit
di Makassar. Setelah itu, baru dibawa ke Papua. Setelah sampai, tidak serta
merta langsung ke tangan distributor tetapi para distributor harus membawanya
lagi melewati gunung dan hutan menaiki pesawat. Belum lagi soal distribusi
bahan material pembangunan infrastruktur yang besar pula. Sehingga pertumbuhan sarana
dan prasarana juga terhambat. Solusi yang tepat mengenai masalah ini adalah
pembuatan pabrik material pembangunan infrastruktur langsung di papua,
pembangunan tol laut, penerbangan langsung ke papua, serta pembukaan infrastruktur
jalan tol dan jalan umum yang memadai dan layak di Papua antar daerah penghasil
dan daerah penampung sampai daerah penerima.
Masalah yang kedua adalah terkait
penegakan aturan. Tentu saja aturan dibuat untuk ditaati dan dijalankan. Namun,
bagaimana bila aturan dibuat untuk dilanggar dan dilawan? Ya itulah yang
terjadi sekarang di Indonesia khususnya Papua. Banyak masyarakat yang
mempertanyakan soal PT.Freeport yang masih beroperasi hingga kini. Bukankah
dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jelas ini berbanding terbalik dengan
kondisi real saat ini yang terjadi di Bumi Cendrawasih. Memang tekanan asing
tak bisa dipungkiri. Namun, kapankah pemerintah kita berani menghadapi tekanan
itu? Kemana cita-cita trisakti founding father kita? Kemana jiwa Pancasila
kita? Saya berani katakan bahwa kondisi perekonomian kita hari ini sangat
terpuruk karena pelanggaran terhadap konstitusi dengan kata lain kita telah
menjalankan roda perekonomian yang inkonstitusional. Bagaimana bisa kita katakan kontrak freeport
itu menguntungkan bangsa dan digunakan untuk kemakuran rakyat sebesar besarnya?
Dari sekian banyak untung yang didapat PT.Freeport bangsa Indonesia hanya
diberikan “upeti” sebesar 10%. Belum lagi utang Freeport selama 48 tahun yang
belum dibayarkan kepada Pemda setempat jika diakumulasikan sebesar US$3,6
milyar. Solusi yang tepat ialah penegakan aturan-aturan yang sudah dibuat
supaya tidak merugikan negara yang akhirnya berimbas pula pada kerugian masyarakat
setempat, merevisi undang-undang yang
mengatur supaya bila terjadi pelanggaran kesepakatan dari yang telah disepakati
antara pemerintah dengan PT.Freeport pelaku dapat dihukum dengan seberat
beratnya, pengawasan perizinan pertambangan diperketat guna menyeleksi
perusahaan mana yang berkomitmen untuk memajukan negara dan mensejahterakan
rakyat Indonesia dan khususnya Papua.
Masalah terakhir ialah soal
kurangnya kesadaran masyarakat lokal dalam mengatur dan memanfaatkan potensi
ekonominya. Papua memang penuh sumber daya alam baik hayati maupun non hayati. Dari
produk hayati saja kita bisa lihat begitu banyak yang dihasilkan dari bumi
cenderawasih ini. Contohnya, pandan hutan yang digunakan untuk kerajinan
anyaman, rotan untuk perabot rumah tangga, sagu untuk pangan pengganti beras (nasi).
Belum lagi soal produk hayati di bidang pariwisata. Siapa yang tak kenal wisata
bahari kepulauan Raja Ampat? Tentu sangat fenomenal dan luar biasa indah. Bahkan,
disebut satu dari puluhan titik surga bawah laut dunia. Itu baru sedikit contoh dari beragam produk
hayati di Papua. Belum lagi soal produk non hayati seperti emas, tembaga,
nikel, dll. yang dimanfaatkan untuk perhiasan dan industri. Tetapi tentu miris
melihat bagaimana kondisi masyarakat Papua yang memiliki potensi alam begitu “wah”
kalah dengan Depok yang notabene nya tidak memiliki potensi alam se”wah” Papua.
Dimanakah problem ini sebenarnya? Terkait produk makanan dan kerajinan yang
dihasilkan tentu saja kendala utama dari itu semua ialah kemasan, pasar, dan
harga yang bersaing. Namun, masyarakat Papua belum tahu mengenai hal tersebut. Sehingga
dibutuhkan seminar dan latihan latihan keterampilan di masing-masing balai desa
maupun balai adat untuk membina warga lebih kreatif dan inovatif serta mampu
bersaing di pasar nasional dan internasional. Yang kedua ialah terkait jasa
pariwisata. Hal yang paling mengganggu jika turis berwisata di Papua ialah
terkait masalah harga akomodasi yang relatif cukup mahal dibanding tempat
wisata lain. Solusi untuk masalah itu tentu saja lagi lagi pembangunan sarana
dan prasarana yang memadai dan juga promosi-promosi yang harus terus gencar
dilakukan kementerian terkait supaya tempat-tempat wisata di Papua terkenal dan
dapat mendunia. Sehingga sektor pariwisata dapat memajukan masyarakat sekitar
Papua dan juga sebagai sumber devisa baru bagi negara. Lalu, kapankah kita akan
memulai solusi pemecah 3 masalah pokok perekonomian Papua? Kalau bukan kita
siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar